Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 April 2011

Banjir Produk Cina Bukan Karena Tarif Rendah

Sebagian besar produk impor asal Cina ternyata belum menggunakan tarif preferensi berdasarkan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). "Masih 70 persen impor pakai tarif normal," kata Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar kemarin.


Artinya, menurut dia, semua permasalahan industri dalam negeri bukan diakibatkan oleh pengenaan tarif impor untuk produk Cina yang rendah. "Persoalannya bukan ACFTA, tetapi karena harga barang Cina sudah murah sekali," ujarnya. Bila produsen Cina menggunakan tarif preferensi, tentu harga produk bakal lebih murah lagi.


Hal ini menanggapi keluhan beberapa industri yang merasa dirugikan karena penjualannya anjlok akibat membanjirnya produk impor asal Cina setelah tarif impor turun sesudah ACFTA berlaku efektif. Industri yang tertekan di antaranya adalah industri tekstil, alas kaki, mainan anak, dan baja.


Impor dari Cina memang melonjak dan mengakibatkan defisit perdagangan Indonesia dengan Cina membesar setahun setelah ACFTA berjalan. Tahun lalu defisit perdagangan Indonesia mencapai US$ 4,73 miliar, lebih besar ketimbang tahun sebelumnya yang hanya US$ 2,5 miliar.


Sementara itu, Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian, Arryanto Sagala, menyatakan bakal ada tambahan usulan baru penerapan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) pada 21 jenis produk. Hal tersebut untuk memproteksi produk dalam negeri dari derasnya aliran produk impor serupa dari Cina.


»Kalau mereka (Cina) dipaksa memenuhi SNI, pasti produknya tidak bisa dijual murah. Produk dalam negeri bisa bersaing,” kata Arryanto.


Ke-21 produk yang dikenai wajib SNI itu akan menambah panjang daftar 68 produk berstandar serupa. Produk-produk itu di antaranya meliputi sektor industri elektronik, industri maritim dan kedirgantaraan, produk tekstil, produk aneka, serta produk baja.


Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Suryo Bambang Sulisto meminta agar wajib SNI diterapkan lebih selektif dan diprioritaskan pada produk yang diserbu oleh produk Cina.


Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan sektor tekstil siap dengan penerapan wajib SNI. »Biasa kami lakukan terutama saat menerima pesanan ekspor ke Eropa dan Jepang. Standar kami sesuai dengan standar mereka yang tinggi,” kata Ade.


Ia berharap, ke depan, pemerintah memperketat penerapan wajib SNI untuk produk impor. Sebab, meskipun SNI bertujuan menekan impor dan meningkatkan daya saing, kenyataannya justru industri lokal yang dikejar-kejar untuk patuh SNI tapi importir kurang diawasi. Akibatnya, industri lokal yang tertekan.


Kementerian Keuangan berkomitmen mencegah penyelundupan dengan memperketat impor produk dari Cina. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akan meningkatkan early warning system dengan mendata produk impor yang beredar di pasar lokal dengan mengecek surat keterangan asal (SKA) tiap produk. Untuk mengantisipasi praktek dumping, pemerintah bakal memberlakukan bea masuk antidumping.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar